Sunday, April 1, 2007

Sebuah catatan

Senin, 02 Mei 2005 18:52


Etika Profesi, Idealisme, Dan Wartawan ‘Bodrex’
(Tinjauan Kritis Terhadap Kebebasan Pers)

Oleh : Akhmad Lazuardi Saragih

Ada hal yang menarik ketika saya membaca sebuah tulisan yang ditempelkan di sebuah dinding kantor Humas Pemko Banjarmasin beberapa hari lalu. Tulisan yang dimuat Majalah Fakta edisi Maret 2005 itu menjelaskan, betapa meresahkannya pejabat daerah dan pengusaha di Kalsel dalam menghadapi wartawan ‘bodrex’. Selain suka meminta-minta uang ke pejabat dan pengusaha, mereka sering mengancam pejabat dan pengusaha jika mereka tidak diberi ‘angpao’.

Menurut informasi dari media tersebut, pejabat yang sering diminta ‘angpao’ oleh wartawan ‘bodrex’ adalah pimpinan proyek (pimpro) Dinas Pekerjaan Umum Kalsel. Maklum, dinas PU sering disebut sebagai dinas ‘basah’. Akibat seringnya wartawan ‘bodrex’ melakukan aksi terhadap pejabat di lingkungan PU, maka ada kebijakan dari dinas PU untuk menutup diri terhadap wartawan.

Apa yang terjadi dari peristiwa itu, sungguh meruntuhkan idealisme dan profesionalisme wartawan. Dampaknya cukup jelas, wartawan untuk mengkonfirmasi berita ke dinas itu, jelas dianggap sama dengan wartawan ‘bodrex’. Ini jelas-jelas sangat merugikan wartawan yang bekerja secara profesional.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalsel yang menaungi profesi wartawan seharusnya bisa mengambil sikap terhadap hal ini. Apalagi Ketua PWI Kalsel HG Rusdi Effendi AR, yang saya kenal betul beliau adalah orang yang tegas terhadap penyimpangan dalam dunia pers. Maklum, beliau adalah pemimpin dan pemilik media terbesar di Kalsel.

Wartawan ‘bodrex’ memang cukup lama dikenal di kalangan wartawan dan pejabat serta pengusaha. Istilah wartawan ‘bodrex’ sendiri muncul dari iklan obat sakit kepala di televisi, yang di dalamnya terdapat ‘pasukan bodrex datang’. Secara faktual wartawan ‘bodrex’ biasanya datang beramai-ramai seperti pasukan. Versi lain mengatakan, istilah ‘bodrex’ berasal dari narasumber yang merasa ‘sakit kepala’ jika didatangi wartawan palsu. Untuk menghilangkan ‘sakit kepala’ itu, sumber berita memberi amplop berisi uang sebagai ‘obat’ penangkalnya.

Sejak pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, wartawan ‘bodrex’ lebih dikenal sebagai WTS (wartawan tanpa surat kabar). Dalam perjalanannya, wartawan ‘bodrex’ sebenarnya tidak ‘bekerja’ pada sebuah media. Mereka hanya mengaku sebagai wartawan, padahal profesi wartawan yang diakuinya adalah wartawan gadungan yang biasanya hanya memeras pejabat dan pengusaha yang dianggap ‘bermasalah’.

Namun seiring reformasi dan jatuhnya orde baru, wartawan ‘bodrex’ tampil berani dan terang-terangan beroperasi untuk menjalankan profesinya dengan mengatasnamakan ‘wartawan’. Malah dalam menjalankan aksinya, mereka dilengkapi dengan kartu pers dan mempunyai penerbitan tertentu.

Dalam menjalankan profesinya sebagai wartawan, orientasi wartawan ‘bodrex’ tidak lagi memakai kaidah jurnalistik, yang seharusnya menyampaikan fakta sesungguhnya. Tetapi orientasi mereka sudah berubah menjadi bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dengan berkedok sebagai wartawan, sehingga berita yang dibuatnya keluar dari konteks kaidah jurnalistik itu sendiri.

Malah dalam perjalanannya, wartawan ‘bodrex’ tidak segan-segan melakukan tindakan penipuan dan pemerasan. Modusnya beragam, ada yang meminta uang untuk biaya perjalanan, mengajukan proposal kegiatan, dan biaya iklan.

Wartawan amplop juga sangat tipis batasannya dengan wartawan ‘bodrex’. Asumsi ini bisa benar, jika praktik amplopisme ini juga dilakukan oleh wartawan yang nyata-nyata tidak jelas identitasnya. Akan tetapi golongan wartawan ‘bodrex’ lebih kejam dalam menjalankan modus operandinya.

Kebebasan pers, selain meniupkan angin segar juga mengalirkan angin busuk bagi wartawan. Kemudahan untuk menerbitkan media, juga diikuti dengan penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan terang-terangan maupun tersembunyi. Sepak terjang menyimpang dari etika profesi, lama kelamaan menjadi budaya wartawan.

Pemberian amplop misalnya, dianggap suatu hal yang wajar. Salah satu teman saya yang berprofesi sebagai wartawan di Banjarmasin pernah mengatakan, pemberian amplop bukan dikategorikan sebagai sogokan. Namun pemberian itu sekadar untuk uang transpor yang diberikan narasumber. Tetapi, secara etik pemberian amplop jelas membuat citra wartawan semakin merosot baik di mata narasumber maupun masyarakat. Bahkan ada pendapat yang mengatakan, pemberian amplop adalah sebuah penghinaan terhadap profesi wartawan. Ada kesan, seolah-olah pekerjaan wartawan itu profesi yang istimewa, sehingga dia harus mendapatkan pelayanan khusus. Celakanya, pelayanan itu diartikan dengan pemberian amplop alias sogokan.

Menerima sogokan jelas melanggar etika profesi wartawan. Pasal lima Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) menyebutkan, wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Pasal ini jelas menafsirkan bahwa wartawan Indonesia dilarang menerima suap, dengan cara tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun. Ini untuk menjaga profesi wartawan itu sendiri. Namun dalam praktiknya, wartawan Indonesia banyak melanggar kode etik yang dibuat.

Penyimpangan Profesi Wartawan

Ada beberapa pola penyimpangan yang dilakukan profesi wartawan. Pertama, pola pasif. Wartawan hanya menerima amplop dari narasumber. Disebut pasif karena mereka tidak meminta, namun menerima kalau narasumber memberi. Pola ini biasanya dilakukan wartawan yang bekerja di perusahaan kecil dan menengah yang kurang memberikan gaji yang layak bagi wartawannya. Namun, penyimpangan ini juga dilakukan oleh wartawan yang bekerja di perusahaan besar, tetapi tidak memiliki peraturan yang tegas soal amplop. Wartawan ini dikenal sebagai tipe ‘kucing’ yang jinak dan manis setelah dilempar ikan.

Kedua, pola aktif atau agresif. Pola penyimpangan ini dilakukan oleh wartawan yang bekerja di perusahaan ‘papan nama’. Dengan cara meminta amplop kepada narasumber secara aktif, bergerilya ke dinas pemerintahan atau perusahaan. Disebut perusahaan pers ‘papan nama’, karena perusahaan tersebut hanya terbit dua atau tiga kali, setelah itu mati. Namun, wartawannya tetap aktif mencari berita dengan tujuan mencari ‘angpao’ dari narasumber. Selain itu, penyimpangan jenis ini dilakukan wartawan dengan cara mendatangi sumber berita dengan menunjukkan bukti tulisan berita, lalu mengharap pemberian ‘angpao’ dari sumber berita. Wartawan ini dikenal dengan tipe ‘nyamuk’ yang suka merubung tempat potensial untuk ‘disedot’.

Ketiga, pola pemerasan. Pola ini dilakukan dengan cara mendatangi sumber berita yang bermasalah. Misalnya tersangka korupsi, pejabat atau pengusaha yang diduga selingkuh. Pelakunya adalah mereka yang mempunyai kartu pers dan menjadi ‘wartawan’ di salah satu media. Atau mereka hanya mengaku sebagai wartawan tetapi tidak memiliki media yang jelas keberadaannya. Wartawan ini mempunyai tipe wartawan ‘kecoa’, sudah baunya tidak sedap, beraksi di tempat kotor lagi.

Kempat, pola penipuan. Pola ini adalah tipe musang berbulu wartawan. Artinya, menipu dengan mengatasnamakan profesinya untuk memperoleh keuntungan. Contohnya, dengan cara mengedarkan daftar sumbangan kepada pejabat atau pengusaha untuk rekan wartawannya yang meninggal dunia, padahal rekan wartawannya masih sehat. Ini jelas penipuan. Mereka bisa wartawan yang tersesat atau bisa juga penipu. (Tim Aji Surabaya, Amplop Candu Bagi Jurnalis, 2001:11)

Banyak orang yang berpendapat, profesi wartawan adalah mulia. Pendapat itu dikaitkan dengan salah satu tujuan dari tugas wartawan itu sendiri, yaitu menyebarkan informasi kepada khalayak. Mencari data dan mengungkapkan dalam bentuk berita. Dengan tugas tersebut, seorang jurnalis akan menyampaikan kebenaran kepada masyarakat melalui informasi yang dipublikasikannya.

Sebagai seorang wartawan yang menyampaikan kebenaran kepada masyarakat, ia dituntut memiliki integritas atau kepribadian yang baik, baik integritas dari segi moral maupun intelektual. Pasalnya, profesi wartawan sangat berbeda dengan profesi lainnya. Wartawan dituntut untuk tanggap terhadap gejala sosial di masyarakat. Mengingat fungsi pers sendiri adalah sebagai kontrol sosial, sehingga seorang wartawan dituntut memiliki kepedulian terhadap gejala sosial.

Sebagai orang yang pernah menggeluti dunia wartawan, saya beranggapan memang dunia jurnalistik sangat ‘menggiurkan’ sekaligus menakutkan. Dunia wartawan diibaratkan sebuah pisau tajam, yang siap mengupas apa saja, tinggal kita yang harus bisa menggunakannya.

Bagaimanapun profesi wartawan adalah profesi yang menuntut kita untuk bersikap profesional dan idealis. Tidak jarang orang yang bersifat profesional dan idealis bisa tergelincir hanya karena ‘angpao’. Hal ini diakibatkan dari perusahaan di tempatnya bekerja belum memberikan kesejahteraan yang layak. Kita patut acungi jempol langkah yang ditempuh Metro TV sebagai salah satu media berita, yang terang-terangan melarang reporternya menerima imbalan berupa apa saja. Keberanian Metro TV ini beralasan, perusahaannya berani membayar seorang reporter/jurnalisnya dengan upah yang tinggi. Langkah seperti ini yang kita harapkan bagi pemilik perusahaan pers di Kalsel.

Semoga pandangan ini menjadikan kita khususnya teman-teman saya wartawan di Kalsel bisa bersikap profesional, idealis dan independen terhadap segala hal. Bagi pemilik perusahaan pers, saya berharap bisa dapat meningkatkan kesejahteraan wartawannya. Tidak ada cara yang lebih tepat dan mulia yang harus dilakukan pemilik media, selain memberikan upah yang layak bagi profesi wartawan.

Mantan Reporter Smart FM Banjarmasin
e-mail: lazuardi_fisipol@yahoo.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Selasa, 02 Januari 2007 02:20


Mengapa Batola Kabupaten Tertinggal

Bahasa politik yang disampaikan seorang politisi akan berbeda dengan seorang menteri.

Oleh:
Akhmad Lazuardi Saragih
Alumni FISIP Unlam

Dr Ir Anton Apriyanto dan Saifullah Yusuf, dua menteri yang menyempatkan berkunjung ke Kabupaten Barito Kuala (Batola) pada 2006. Ini adalah kado terpenting dari ulang tahun daerah ini pada 4 Januari 2007. Menteri Pembangunan Kawasan Tertinggal Saifullah Yusuf menyebutkan, Batola masuk kategori kabupaten tertinggal di Indonesia. Sementara dalam kunjungan kerja proyek pembibitan ternak, Mentan Anton Apriyanto prihatin, karena daerah itu menyimpan persoalan akut yaitu petani miskin: SDA melimpah tapi petaninya miskin.

Entah bagaimana dan dari mana ukuran yang digunakan Kementerian pembangunan kawasan tertinggal serta yang disampaikan Mentan itu. Nyatanya, tidak ada bantahah, sanggahan ataupun mencoba berkelit dari sejumlah pejabat di kabupaten itu. Artinya, yang disampaikan Mentan adalah kenyataan sesungguhnya.

Masalah data? Tentu saja pihak kementrian pembangunan kawasan tertinggal mempunyai keakuratan dengan sejumlah tolok ukur, parameter pendekatan atau cara pandang dalam menentukan dan mengategorikan sebuah kabupaten disebut sebagai tertinggal.

Marilah mencermati sejauhmana pembangunan di Batola menampakkan tingkat keberhasilan ataupun kegagalannya. Marilah berandai-andai, pencermatan itu dimulai dari lima tahun terakhir masa pembangunan. Atau meminjam istilah orde baru sebagai rencana pembangunan lima tahunan.

Mulailah dengan yang kecil untuk melihat perkara yang besar yaitu keadaan infrastruktur, kondisi ekonomi, pemerintahan dan lingkungan sosial budaya.

Kota Sungai Dan Pelabuhan

Ketua PDI-P Kalsel menyampaikan di media masaa bahwa keberhasilan pembangunan infrastruktur di Batola sangat baik. Tetapi sayangnya, tokoh PDI-P ini tidak memberikan data yang cukup argumentatif, infrastruktur mana dan dimana yang dianggap sudah sangat baik itu.

Bagaimana kita dapat menilai keberhasilan dengan sampaian tanpa data. Sebab, kenyataannya kondisi pelabuhan kabupaten yang semestinya dapat menunjang kelancaran ekonomi rakyat jauh dari sempurna. Bahkan, tidak pernah disentuh perencana pembangunan di daerah ini. Maka, bahasa ketua PDI-P dalam menilai kinerja pembangunan Batola tentulah semacam bahasa politik kelompok politisi.

Bahasa politik yang disampaikan seorang politisi akan berbeda dengan seorang menteri. Bahasa politik sering berubah arah, tergantung situasi kepentingan politik. Sementara realitas pembangunan menyampaikan apa adanya.

Ironi pertama tentang Batola sebagai daerah sungai, ialah kondisi pelabuhannya yang lapuk dan tak terurus. Ironi kedua, matinya Batola sebagai daerah pelabuhan untuk kawasan Sungai Barito adalah lumpuhnya Kota Marabahan sebagai lintas pembangunan ekonomi yang menopang bahan baku untuk industri di Kalsel.

Sentra Niaga

Suatu ketika, perencana pembangunan di Batola berkumpul untuk mematangkan strategi ekonomi menggunakan argumentasi bahwa kepadatan Kota Banjarmasin harus segera diantisipasi dengan membangun kawasan ekonomi penyangga. Perencana itu belajar dari kawasan kilometer tujuh Kertak Hanyar yang padat oleh kegiatan ekonomi akibat melubernya aktivitas niaga yang datang dari kota.

Pembangunan Pasar Handil Bhakti adalah pilihan sangat tepat yang nantinya diharapkan mampu menjadi sentra niaga baru. Atau, istilah perencana pembangunan itu sebagai kawasan pembangunan cepat. Pasar yang posisinya berbatasan langsung dengan Kota Banjarmasin itu menelan biaya tidak sedikit, yang entah bagaimana pula cara pembayaran dilakukan.

Tetapi hingga akhir 2006, kawasan ini tidak juga menunjukkan geliat. Tidak ditemukan adanya percepatan pembangunan dan aktivitas ekonomi sebagaimana lazimnya pasar penyangga. Banyak orang menduga, kawasan ini akan menjadi ikon baru pembangunan di timur Batola dengan sejumlah komoditas pertanian, buah-buahan dan perikanan.

Ironi ketiga, kawasan pemasaran berbagai komoditas ini tak juga menunjukkan kapasitasnya sebagai kawasan ekonomi baru karena sepi pembeli dan penjual.

Mengapa tidak ada kecerdasan perencana pembangunan agar strategi ‘menjual’ kawasan ekonomi baru ini kepada investor. Atau untuk menghemat biaya, melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kota Banjarmasin dengan menjadikannya sebagai Kertak Hanyar kedua. Atau, paling tidak kawasan ini dapat dijadikan sebagai pusat perdagangan yang menyenangkan dengan mengundang masuknya kelompok marketing dunia yang kini gencar mencari kawasan investasi baru. Bisa juga dengan ‘memberdayakan’ pedagang yang ada agar mereka menjalankan aktivitas niaga dengan menggenjot promosi.

Kalau kawasan masalahnya sepi pengunjung dan pembeli, maka harus ada ribuan cara dan pendekatan bagaimana pembeli bisa berdatangan. Promosi besar-besaran seharusnya dilakukan pemda atau instansi terkait. Tetapi ironi pembangunan kawasan niaga Handil Bhakti ini ialah yang terjadi tak sebaik yang direncanakan dan dilaksanakan di lapangan. Masalah kecil seperti promosi, tak ada upaya dari pemda.

Infrastruktur penyediaan kawasan niaga yang diharapkan dapat menopang kegiatan ekonomi kerakyatan, tak sesuai harapan. Jadi, yang disampaikan Apriyanto bahwa perencanaan yang kurang bagus dengan contoh konkret kawasan niaga ini, benar adanya.

Lima Persen

"Berdasarkan laporan yang saya terima, anggaran untuk pertanian hanya lima persen dari total APBD Batola," kata Mentan saat Pencanangan Aksi Pembibitan Ternak Nasional di Desa Sido Mulyo Kecamatan Wanaraya, Batola.

Laporan bahwa anggaran untuk pertanian Batola yang mayoritas rakyatnya hidup dari sektor pertanian, merupakan ironi keempat pembangunan daerah tertinggal ini. Seakan Mentan menyampaikan, betapa rendahnya apresiasi Pemkab Batola terhadap nasib petani dan masa depan sektor pertanian.

Kalau anggaran lima persen untuk sektor pertanian itu digunakan sebagai acuan, artinya, keberhasilan petani Batola menyangga lumbung beras Kalsel adalah semata karena kerja keras mereka.

Kepemimpinan selama lima tahun terakhir, banyak membawa perubahan birokrasi di daerah. Sejumlah kalangan dan terutama kelompok LSM mengeluhkan banyaknya pejabat daerah yang tinggal di luar kota. Mereka lebih memilih tinggal di Kota Banjarmasin atau Banjarbaru, daripada hidup di tengah rakyat Batola. Padahal kalau hidup di tengah rakyat, mereka akan segera tahu bagaimana susahnya rakyat Batola bekerja.

Bagaimana susahnya rakyat Batola menempuh jalan menuju ibukota kabupaten, kalau mereka itu berasal dari Kecamatan Kuripan. Sepertinya pemerintahan di dalam pembangunan lima tahun ini, melakukan pendekatan yang disebut sebagai politik berat sebelah. Sayang sekali, pejabat yang dianggap ‘nakal’ akan segera menerima akibatnya: ‘disuruh mengabdi’ ke Kecamatan Kuripan atau Tabukan yang berbatasan dengan Kalteng.

Tulisan ini, tidak ada artinya kalau tidak menyampaikan keberhasilan pembangunan Batola. Banyak yang menyampaikan dukungan dan kebanggaannya, bahwa pilar utama pembangunan selama lima tahun telah berhasil.

Pilar pertama, pembangunan agropolitan dengan pengembangan sentra keruk, yang kabarnya akan diikuti dengan membangun Industri Pengolahan Jeruk dan buah lainnya. Pilar kedua, pembangunan Rumah Dinas Bupati Kepala Daerah yang menjadi kebanggaan masyarakat kota dan dinyatakan sebagai bangunan dinas termegah se Kalsel. Dua pilar keberhasilan tentu menjadi catatan penting sejarah pembangunan Batola di masa akan datang. Selamat Ulang Tahun Kabupaten Barito Kuala.

e-mail: lazuardi_news@yahoo.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Sabtu, 26 Nopember 2005 02:37


Membedah Lembaran Perjalanan Unlam, Menyongsong Fajar Harapan

Oleh: Akhmad Lazuardi Saragih

Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Sabtu 26 November 2005 ini merayakan Dies Natalies ke-45 secara sederhana. Namun ada yang kita rasakan lain dalam Dies Natalies yang biasanya diperingati 1 November. Kali ini tongkat kehormatan Unlam diserahkan oleh Prof Alfian Noor kepada Ir Rasmadi MS, sebagai rektor baru hasil pilrektor periode 2005-2009.

Tanpa mengenyampingkan jasa yang telah dikaryakan Prof Alfian Noor dalam dua kali periode kepemipinannya, ada baiknya kita menganalisis sepak terjang dari perjalanan beliau. Saya yakin, banyak di antara kita bahkan mungkin sebagian dari orang Unlam kurang puas pada kinerja Prof Alfian Noor. Hal itu dapat dimaklumi, karena sebagian dari mereka kurang dihargai malah dicampakkan oleh pimpinan kampus.

Kalau boleh jujur terhadap kepemimpinan beliau, apa yang harus kita banggakan dari sepak terjangnya membawa Unlam sampai saat ini. Adakah hasil yang signifikan yang membawa penghargaan terhadap karya insan intelektual kampus. Kenapa kita tidak pernah mendengar, di antara ribuan mahasiswa kita berhasil meraih predikat berprestasi di tingkat nasional dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Kenapa selama ini kampus kurang memberikan apresiasi terhadap kegiataan mahasiwa yang dirasa memiliki nilai ilmiah.

Kemana saja selama ini rektor membawa arah angin dari pergerakan bendera almamater. Kita heran, kenapa selama ini ribuan mahasiswa yang setelah belajar di Unlam hanya sedikit yang mampu bersaing di pasar kerja.

Keheranan kita bertambah lagi, ketika minat orang masuk Unlam semakin menurun. Sampai-sampai dalam data akademik, ada fakultas yang memiliki program studi mengalami kekurangan mahasiswa. Kenapa justru program studi tersebut harus dimerger, atau malah ditutup. Ini menunjukkan, tidak adanya visi yang jelas dalam membuat sebuah program studi. Padahal kalau mau jujur, program studi yang kekurangan mahasiswa itu justru dari fakultas yang memiliki ikatan kuat dengan lingkungan geografis daerah.

Saya tidak bermaksud membuka aib dari kondisi kampus kita sekarang, ini hanya berbicara fakta di lapangan. Saya adalah sebagian dari mahasiswa Unlam yang sampai detik ini masih belum jelas mau kemana melangkah. Bukan berarti saya tidak mempunyai pengalaman.

Melangkah dalam arti: apa iya kita belajar di kampus? Kehidupan dan nafas keseharian mahasiswa di kampus adalah melakukan proses belajar dan penelitian. Dharma kita harus bertumpu pada peningkatan kemampuan. Namun, alih-alih untuk menjalankan fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi, keseharian dari kehidupan kampus hanya kita lalui oleh sikap kemalasan dan hura-hura.

Tetapi mesti di ingat, kehidupan kampus yang kurang didukung atmosfir akademik tidak akan pernah menghasilkan sarjana yang siap tampil di lini depan dalam menjawab tantangan dan persoalan zaman yang global.

Lantas, siapa yang salah dalam hal ini? Mahasiswa, dosen, atau rektor? Sangat sulit mencari siapa yang salah di antara kita, karena dipastikan tidak ada yang mau mengaku salah. Tetapi naif rasanya kalau di antara kita tidak berjiwa besar dalam mengakui kesalahan, dan hanya menyalahkan satu orang.

Saya menganalisis ini dalam kerangka evaluatif dalam koridor yang agak subjektif. Meski saya berusaha menganalisisnya seobjektif mungkin. Perlu juga diketahui, dalam kurun waktu dua periode kepemimpinan Prof Alfian Noor, ada beberapa hal yang menjadi titik nadir sehingga seorang tidak berdaya dengan keadaan atmosfir akademik kampus yang berdampak pada kemunduruan sebuah lembaga.

Perlu diketahui, Unlam memiliki sebuah badan normatif bernama senat. Fungsinya meninjau kinerja rektor. Sejauhmana sebenarnya rektor membawa arah kapal. Kalau dirasa agak menyimpang dan kurang tepat, senat yang harus mengingatkan dan menegur.

Tapi sayang, di Unlam senat hanya sebuah simbol sehingga tidak mempunyai ‘gigi’. Akibatnya, tidak mampu mengoyak pelbagai persoalan yang dihadapi. Akhirnya, memang sampai saat ini fungsi senat tidak diberdayakan, malah seolah-oleh diperdayakan oleh hegemoni seorang rektor. Sepanjang yang saya ketahui, senat Unlam hanya bekerja dan bergulat pada persoalan dan kegiataan seremonial. Selebihnya (maaf), sekadar makan ‘gaji buta’.

Saya bukan ingin menyatakan ‘gila berani’ untuk mengatakan citra buruk terhadap Senat Unlam. Tetapi ini adalah bentuk rasa keprihatinanan dan sedih terhadap almamater Unlam. Saya menilai, Senat Unlam adalah representatif dari orang-orang yang ada di kampus. Jadi, selain kepemimpinan rektor yang berpikir cerdas, harus juga diiringi dengan kiprah senat yang bergerak dinamis, tanggap terhadap pelbagai hal.

Fajar Harapan

Unlam hari ini, menyongsong fajar baru. Tentunya kita tak mau fajar dimulai dari kemunduran, apalagi kemelut yang berkepanjangan. Adalah kehormatan bagi almamater, sebuah institusi bernama universitas jika kaum intelektualnya berhasil meraih predikat terpelajar yang bermentalkan idealisme dan kehormatan pada etika keilmuan, sehingga menjadi kaum intelektual yang sejati dan mengenal jati dirinya.

Sebagai orang yang duduk dalam dunia pendidikan yang bergelarkan kaum intelektual, rasanya tak pantas menerima simbol kehormatan dari gelar akademik di depan dan di belakang nama, jika kita masih menorehkan tinta hitam dalam sejarah dunia pendidikan. Kita sangat berharap kepada pimpinan universitas yang baru dilantik, senantiasi tetap menjaga ritme agar mengedepankan prinsip good education.

Tulisan kali ini tidak bermaksud menggurui, apalagi mengkritik tanpa solusi. Kiranya pimpinan universitas harus menyadari, kecintaan sebagian orang terhadap Unlam bukan hanya karena ikatan simbol akademik. Tetapi lebih dari itu, kecintaan untuk bersama-sama membangun almamater Unlam.

Kita hanya mengingatkan, pimpinan Unlam memiliki tanggungjawab besar terhadap ribuan generasi yang masih ada dan akan masuk Unlam untuk tampil ke lini depan dalam menjawab persoalan dan tantangan dari realitas zaman yang semakin modern.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat berulang tahun kepada almamater Unlam. Juga selamat kepada Ir Rasmadi MS, Rektor Unlam periode 2005-2009. Tanggungjawab besar ada di tangan Anda, semoga bisa membawa Unlam menjadi universitas terdepan. Mari kita galang kekuatan bersama dalam menyongsong Unlam menjadi salah satu universitas ter depan di Indonesia.

Divisi Litbang Dema Unlam, tinggal di Banjarmasin
e-mail: lazuardi_fisipol@yahoo.com

Selasa, 02 Agustus 2005 01:45

34 Tahun Banjarmasin Post
Menuju Peradaban Media Yang Humanis Dan Bermartabat

Oleh : Akhmad Lazuardi Saragih

"Perubahan terjadi serba cepat di dalam masyarakat. Begitu cepat hingga memerlukan ketajaman menangkap makna dan arah putarannya. Ini sudah ciri zaman. Pers, sebagai bagian dari masyarakat, mesti pandai menangkap pertanda zaman kalau ia hendak berfungsi sebagaimana seharusnya. Pers, tidak cuma memberi kabar, mendidik, dan menghibur. Darinya dituntut jasa yang membantu masyarakat mengerti pertanda zaman, memahami makna, dan arif terhadap arah tujuannya" (Jakob Oetama, dalam seminar ASEAN Press di Jakarta 16-19 Februari 1976)

Kalau kita memahami pernyataan Jakob Oetama dalam kapasitasnya sebagai presiden Konfederasi Wartawan ASEANpada waktu itu, dapat kita tarik benang merahnya untuk dibicarakan dalam public discourse pada momentum HUT B Post ke-34 tahun 2005 ini.

Sejak berdiri pada 2 Augstus 1971, BPost telah memberikan warna baru terhadap khazanah pers nasional di tanah air. Jika kita simak pernyataan Jakob Oetama di atas, sudah sepantasnya BPost tidak hanya menjadi media untuk sekadar pemberi kabar, pendidikan dan hiburan. Tetapi lebih dari itu, bagaimana memposisikan BPost sebagai media yang memberikan pencerahan terhadap peradaban modern yang menuntut serba cepat.

Menarik sekali jika peradaban modern dewasa ini kita kaitkan dengan pernyataan sosilog Inggris terkemuka Anthony Giddens. Ia menyebut, dunia kita saat ini sebagai run away world atau dunia yang mberot, lari cepat, tunggang langgang.

Peradaban dunia yang menuntut ser-ba cepat dan canggih hendaknya menjadikan desain tersendiri bagi media massa untuk mencarikan format dalam menjawab persoalan masyarakat yang serba kompleks dewasa ini, sehingga pers harus pandai-pandai bisa menangkap persoalan dari putaran zaman yang terus melintas.

Industri Pers

Masuknya BPost dalam industri pers di tanah air, tentu akan jauh lebih bermakna jika posisinya benar-benar bisa menjadi pionir dalam mengupas berbagai masalah melalui pemberitaan yang lebih fokus menangkap persoalan masyarakat sehingga menjadi grand design untuk membentuk sebuah alat kontrol sosial.

Selain itu, adanya ikatan industri pers yang cendrung kapital terhadap ‘proyek’ industrinya tidak menjadikan suatu desakan yang hanya mengejar deadline laba, tetapi bagaimana BPost juga berperan dalam menyikapi persoalan yang dihadapi masyarakat dewasa ini.

Pemberitaan yang melaporkan tentang masalah yang melanda masyarakat saat ini, hendaknya menjadikan BPost lebih melihat sebagai fenomena yang lebih fokus dalam mendesain karya jurnalistik yang dikemas oleh wartawan. Fokus yang dititikberatkan pada masalah yang dihadapi masyarakat melalui bahasa jurnalistik yang dibuat, jangan hanya bahasa yang dibaca sesaat. Tetapi bagaimana bahasa jurnalistik yang diramu bisa memberikan ruang bagi publik untuk ‘terperangah’ dalam melihat fenomena yang menjadi kupasan wartawan. Dengan cara itu, ada kesadaran dari masyarakat untuk melihat persoalan itu dalam konteks kesadaran publik yang menjadi bahasan utama dalam kehidupan masyarakat modern.

Selain itu pula, dengan masuknya BPost dalam industri pers adalah sebuah keniscayaan untuk memberikan apresiasi pada tingkat kesejahteraan seluruh awak BPost. Dukungan yang memberikan tingkat kesejahteraan yang sesuai standar adalah bentuk perhatian pengelola industri pers, sehingga memberikan jaminan terhadap kelangsungan hidup yang layak dalam kehidupan modern dewasa ini.

Paling penting adalah bagaimana kesejahteraan khususnya bagi wartawan, harus menjadi perhatian serius dari pemilik industri pers sehingga tidak menjadikan wartawan sebagai eksploitasi yang hanya mengejar deadline.

Perlunya perhatian dari pemilik industri pers untuk memperhatikan tingkat kesejahteraan wartawan yang bekerja memburu berita, adalah bentuk perhatian pemilik media untuk tidak menciderai etika jurnalistik. Kondisi yang tidak mendukung dalam melakukan tugas jurnalistik oleh wartawan di lapangan akan membuat hasil yang tidak baik, malah cenderung tidak bersikap objektif dalam segi bahasa jurnalistiknya.

Fenomena pelanggaran etika pers yang sering terlihat di masyarakat adalah bentuk kurangnya kesadaran pemilik media dalam menyikapi persoalan tingkat kesejahteraan. Penulis ingatkan, tindak pelanggaran yang terjadi terhadap etika pers yang dilakukan wartawan tidak hanya dapat diukur dalam tingkat kesejahteraannya, tetapi bagaimana pembentukan idealisme dari sosok wartawannya itu sendiri. Sosok wartawan yang ideal adalah sebuah panggilan nurani yang tumbuh secara alami, sehingga benar-benar bisa bersikap profesional.

Konteks Kebudayaan Dalam Media

Secara mendalam, kehidupan suatu bangsa dimanisfestasikan dalam kebudayaan. Itulah ikatan batin dan akarnya. Kebudayaan itu pula menyimpan sistem nilai masyarakat, yang mempengaruhi pandangan dan sikap hidupnya terhadap masalah kehidupan. Adalah cara arif dan bijak untuk menyampaikan sebuah konteks kebudayaan dalam ruang lingkup ranah publik yang dijadikan sebagai konsumsi pemberitaan harus selalu berpijak pada etika, sehingga tidak menciderai kebudayaan itu sendiri.

Pemberitaan yang menjadi nuansa budaya hendaknya selalu ditonjolkan dalam konteks kebhinnekaan, sehingga menjadi suatu tatanan luhur dalam berbangsa dan bernegara. Adalah tugas media untuk menciptakan suatu hubungan erat antara satu budaya dengan budaya yang lain, sehingga tercipta kebersamaan dalam bermasyarakat.

Keberagaman budaya itu hendaknya menjadi dorongan kreatif bagi awak redaksi BPost untuk mencari strategi baru dalam mengemas karya jurnalistiknya. Dikupasnya khazanah budaya membuktikan adanya apresiasi media massa khususnya BPost dalam menggali khazanah budaya lokal Bumi Lambung Mangkurat.

Untuk menuju masyarakat yang ideal adalah sebuah keniscayaan bagi media untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Fungsi kontrol dan pendidikan yang menjadi tugas pokok media harus diilhami oleh rasa keinginan untuk melakukan pembaharuan dalam konteks kearifan, sehingga tercipta sebuah tatanan baru dalam mendukung proses pembentukan masyarakat madani.

Sudah saatnya jargon BPost sebagai media terbesar di Kalsel, tidak menjadikannya ‘lelap’ dalam tidur yang berkepanjangan. Tetapi dengan jargon itu, BPost harus tampil lebih kreatif dalam mengemas sebuah tatanan media yang memberikan pencerahan dan gagasan yang inovatif sehingga memberikan nuansa yang humanis dalam berbagai dimensi pokok fungsi media. Salah satunya adalah membuat karya jurnalistik yang selalu berpijak pada pencitraan yang cover bothside.

Kalau saja ini dilakukan sebagai langkah positif dalam kerangka rekayasa sosial media yang lebih bersikap arif dan bijak untuk menuju pembaharuan dalam ruang lingkup awak BPost, penulis yakin jargon BPost sebagai koran terbesar dan tertua di Kalsel bisa bertambah menjadi koran yang menyuarakan pembaharuan yang lebih arif dan dekat pada rakyat.

Sekali lagi, ini hanya bisa dijadikan sebagai langkah positif jika BPost bisa memulai hal itu dengan cara yang lebih bermartabat, disertai berbagai strategi baru yang lebih jitu dalam menuju citra media yang independen, humanis dan reformis.

Kalau sekiranya upaya itu sudah dilakukan oleh BPost, tak ada kata yang indah untuk dilukiskan serta ucapan yang patut untuk dituturkan selain memberikan pujian dan ucapan selamat kepada BPost. Teruslah berkarya dan berkreasi dengan spirit baru serta terus memperjuangkan semangat: ‘Demi Keadilan, Kebenaran Dan Demokrasi’. Jadikan motto itu sebagai khazanah pencerahan kepada masyarakat menuju peradaban yang lebih bermartabat, berbudi luhur dan berdaya saing tinggi sehingga tercipta masyarakat madani di Bumi Lambung Mangkurat. Wallahu a’lam

Mahasiswa Tingkat Akhir Fisip Unlam Banjarmasin
e-mail: lazuardi_fisipol@yahoo.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Kamis, 16 Februari 2006 00:49

Unlam Dan Hasanuddin HM

Oleh : Akhmad Lazuardi Saragih

Sepanjang perjalanan dan sepak terjang Unlam dalam mengitari relung kehidupan dunia kampus, tak membuat kita harus diam dalam roda sejarah perjuangan pada berdiri dan berjalannya sebuah dinamika kampus. Kedewasaan orang kampus dalam menapaki kehidupan di era sekarang, akan terukur bilamana bisa membaca dan memahami pentingnya arti refleksi sejarah perjuangan.

Unlam sebagai sebuah institusi pendidikan yang dibangun atas dasar perjuangan tentu akan menjadi pelopor semangat generasinya, bilamana mengetahui bagaimana jerih payah orang tua kita terdahulu dalam memperjuangankan terbentuknya lembaga pendidikan tinggi hingga beranjak di usia setengah abad.

Berkaca pada kondisi sekarang dibanding 40 tahun silam -- bertepatan gugurnya Pahlawan Ampera Hasanuddin HM-- jelas sangat berbeda. Dulu kita belum mengenal kecanggihan teknologi. Fasilitas dan wahana belajar serta infrastruktur pun sangat terbatas. Sekarang, kita mudah memanfaatkan berbagai fasilitas dalam menunjang proses belajar-mengajar dan berwahana dalam organisasi kampus. Yang berbeda justru terlihat dari semangat generasi sekarang, dalam mendorong terbentuknya semangat juang yang bisa diaplikasikan ke dalam kegiataan ilmiah.

Kita merasakan, khususnya di Unlam, untuk kegiatan yang berciri pada keilmiahan dan pengembangan kapasitas keilmuan sangat minim diminati mahasiswanya. Generasi sekarang lebih senang pada suasana yang hedonistik (hura-hura). Saya bukan menjelekkan generasi sekarang. Tapi perlu ada reflektif atau cara mengingatkan generasi sekarang untuk bisa menyadari, perjuangan dan semangat dalam membangun sebuah institusi pendidikan yang bernama universitas bukan hal yang mudah dilakukan oleh founding father.

Karenanya, kesempatan generasi sekarang untuk membuktikan sampai sejauh mana kita bisa menjaga keutuhan universitas agar tetap bertahan, unggul dan menjadi universitas terdepan. Paling tidak di kawasan timur Indonesia.

Hasanuddin HM dalam Sejarah

Sebelum memberanikan diri untuk sedikit angkat bicara soal sejarah mengapa muncul dan lahirnya seorang Pahlawan Ampera di bumi kita tercinta ini, saya menginformasikan, sampai saat ini rekan saya yang bekerja di salah satu media di Jakarta yang juga alumni FISIP Unlam, Budi Kurniawan, menyusun buku tentang Hasanuddin HM.

Setelah melalui proses penulisan serta riset yang mendalam, akan tergambar secara jelas bagaimana proses perjalanan seorang Hasanuddin HM sampai ia tertembak dan dianugerahi sebagai Pahlawan Ampera. Tentunya buku yang ditulis Budi Kurniawan ini, sangat kita tunggu kehadirannya.

Kita sangat mengharapkan selesainya buku Hasanuddin HM itu, agar kelak ada dokumentasi tentang seorang pahlawan yang gugur dalam memperjuangan amanat rakyat, yang kebetulan ia adalah seorang mahasiswa Unlam. Sayangnya, informasi yang saya terima dari sang penulis, penulisan buku itu terhambat akibat minimnya dana untuk penerbitan. Saya kira, kita patut mengapresiasi rekan kita Budi Kurniawan dan rekan untuk tetap melanjutkan penerbitan buku itu.

Peristiwa gugurnya Hasanuddin HM dalam aksi demonstrasi pada 10 Februari 1966 lalu, memang sangat sulit kita gambarkan. Perlu kita pahami sekarang, memaknai sejarah dalam porsi yang arif dan bijak dalam melihat adanya informasi mengenai seputar sosok Hasanuddin HM, tanpa mengurangi dan menambah sebuah informasi yang memang berasal dari orang-orang yang mengetahui serta terlibat langsung pada peristiwa itu.

Dengan adanya pergulatan dialog, diskusi dan perdebatan melalui berbagai forum yang bernas, akan lahir sebuah refleksi baru dalam memahami arti pentingya sejarah perjuangan. Memahami saja tentu belum cukup, tetapi ada artikulasi yang bisa kita terjemahkan ke dalam bentuk bagaimana refleksi itu bisa mengandung makna sebuah kadar pengetahuan serta wawasan yang dibentuk ke dalam aktualisasi gerakan moral.

Tentu menjadi hal yang progresif dalam kultur masyarakat khususnya dalam dunia kampus, agar tercipta aksi bersama untuk memaknai peringatan dalam sebuah refleksi.

Saat kita bertemu pengurus Ika Unlam dan Masjid Hasanuddin HM dalam rangka persiapan peringatan 40 tahun gugurnya Hasanuddin HM, kebetulan saya baru mendengar kabar bahwa gugurnya Hasanuddin HM dalam peristiwa Tritura adalah orang pertama dalam demonstrasi massa yang dilakukan mahasiswa dan pelajar di tanah air. Berarti, Hasanuddin HM adalah sosok Pahlawan Ampera yang pertama kali gugur dalam perjuangannya melalui aksi demonstrasi pada saat itu.

Selebihnya, ada dua orang Pahlawan Ampera yang kita kenal dalam berbagai literatur yakni Arif Rahman Hakim dari Universitas Indonesia dan Hasanuddin HM dari Unlam. Kita tentu menyadari dan tak ingin jatuh korban dari peristiwa itu. Namun Tuhan berkehendak lain, ada yang harus menjadi korban dalam peristiwa perjuangan Tritura pada 1966 lalu.

Semangat juang yang menjadi tolak ukur kita sekarang adalah melakukan perubahan, menuju sebuah masyarakat yang mandiri dan berkeadilan melalui dasar Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Ampera yang menjadi semangat gerakan pada kondisi sekarang, adalah kita dihadapkan pada penderitaan yang bertubi-tubi melanda bangsa: busung lapar, rakyat kelaparan, penyakit yang beraneka ragam, petani yang dianaktirikan, rakyat yang didzalimi, harga yang membumbung tinggi, yang pada akhirnya rakyat akan terusir dari negeri ini. Tentunya hal itu tak kita inginkan.

Yang patut kita petik dalam memaknai jasa pahlawan terdahulu adalah bagaimana peran kita sebagai generasi penerus bangsa bisa mengaktulisasi diri, agar bisa menjadi orang yang peduli terhadap penderitaan rakyat sekarang.

Hasanuddin dalam Event

Berawal dari hubungan komunikasi dengan pengurus Ika Unlam yang diketuai HG Rusdi Effendi AR, saya dan rekan dari Badan Eksekutif Dewan Mahasiswa (Dema) Unlam menjalin kerjasama untuk menyelenggarakan event memperingati 40 tahun gugurnya Pahlawan Ampera Hasanuddin HM.

Saya pikir, ini adalah event yang tepat bagi kita untuk bersama-sama mengaktulisasi Unlam sebagai universitas perjuangan. Sepanjang yang kita ketahui, peringatan gugurnya Pahlawan Ampera Hasanuddin HM ini terakhir dilakukan oleh eksponen 66, sivitas akedemika Unlam dan pemerintah daerah pada 1987. Jadi, selama kurun waktu 19 tahun peringatan ini belum pernah dilakukan lagi. Seharusnya, peringatan semacam ini serta kegiatan mengenang Hasanuddin HM kita gaungkan kembali dan dijadikan event tahunan.

Dengan acara semacam ini pula, paling tidak Unlam akan berkaca diri bahwa perlu ada kesadaran kolektif untuk membangkitkan semangat agar universitas kita tetap terjaga kekokohannya. Selain itu, dengan adanya event semacam ini akan terjalin silaturahmi antaralumni, mahasiswa, eksponen 66 serta sivitas akedemika Unlam. Diharapkan juga agenda ini dapat memotivasi sivitas akademika untuk mewarisi nilai kejuangan.

Agar gaung acara ini menjadi gema bersama, kita mengharapkan event peringatan Hasanuddin HM pada tahun-tahun berikutnya tetap dipelopori oleh mahasiswa dan pengurus Ika Unlam serta pengurus Masjid Hasanuddin HM.

Refleksi Bersama

Unlam lahir dan terbentuk dari sejarah panjang pejuang. Untuk itu, kita harus menjaga kekokohan dan kekompakan bersama dalam mengarungi bahtera perjalanannya. Kehidupan masyarakat kampus tak lagi sekadar sebagai pemerhati, pengamat dan pemberi nasihat. Kita senantiasa harus menjadi orang yang mau terlibat langsung dalam mengaktualisasikan diri serta menjadi suri teladan yang baik.

Semangat juang Hasanuddin HM patut menjadi pelopor kita bersama. Keberanian menentang kedzaliman selalu menjadi pupuk dalam mengarungi perjalanan bangsa, khususnya untuk menjadikan Unlam menjadi pelopor kampus perjuangan. Semangat juang yang patut diaktulisasi: perhatian kita terhadap kondisi masyarakat sekarang dan akan datang. Kita harus sadar, nasib rakyat hari ini bisa menjadi lebih sengsara jika kita masih larut dalam buaian kepicikan dan kepongahan.

Pesan yang bisa kita ucapkan dan gelorakan agar semangat perjuangan tetap tumbuh di benak kita sekarang adalah: Hanya ada satu pilihan, menjadi bangsa Indonesia atau bangsa asing. Itulah spanduk yang melilit di lengan Hasanuddin HM, ketika darah segar membasahi Bumi Lambung Mangkurat 40 tahun silam. Bravo Unlam, Bravo Hasanuddin HM.

* Divisi Litbang Dema Unlam, tinggal di Banjarmasin
e-mail: lazuardi_fisipol@yahoo.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Selasa, 12 Juli 2005 02:02


Komersialisasi Pendidikan Dan Dinamika BHMN-BHP

oleh: Akhmad Lazuardi Saragih

Kongres Ikatan Mahasiswa Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Seluruh Indonesia (IMAKIPSI), akhirnya mengeluarkan beberapa butir petisi. ‘Petisi Banjarmasin’ --sebutan bagi petisi— yang salah satu butirnya adalah seruan untuk menghentikan masalah komersialiasi pendidikan (BPost 16/6).

Selain komersialisasi pendidikan yang menjadi pokok pembicaraan kongres IMAKIPSI, kongres ini meminta kepada pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dan DPR untuk memperhatikan anggaran pendidikan serta transparansi terhadap kucuran dana pendidikan di tanah air.

Komersialisasi pendidikan erat kaitannya dengan wacana dari dinamika universitas sebagai badan hukum milik negera (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang diharapkan nantinya status seluruh perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia berubah menjadi badan hukum. Keinginan untuk melakukan perubahan status hukum suatu PTN menjadi BHMN dan BHP yang independen, hendaknya tidak berarti menjadikan perguruan tinggi (PT) tersebut sebagai badan usaha sebagaimana layaknya sebuah badan usaha swasta atau swastanisasi PTN dan mengabaikan tanggung jawab sosialnya sebagai lembaga nirlaba penyelenggara pendidikan tinggi.

Perubahan secara sistematis menjadi BHMN dan BHP, menyisakan banyak problematika pada lingkungan strategis PTN itu sendiri yaitu pada tataran struktur organisasi, budaya (kultur) organisasi, manajemen PT, model perekrutan mahasiswa sampai pada biaya kuliah di PTN yang melambung tinggi.

Memang implikasi negatif dari BHMN dan BHP yang dirasakan masyarakat secara langsung adalah semakin mencuatnya fenomena komersialisasi di kampus. Akan tetapi pertanyaannya, apakah tanpa BHMN dan BHP fenomena komersialisasi kampus itu tidak akan mengalir seperti saat ini? Jawabannya, saya kira, justru sebelum BHMN, kampus tersebut marak melakukan proyek komersial, seperti mendirikan program diploma dan ekstensi.

Tantangan bagi kampus PT perguruan tinggi BHMN dan BHP, tidak boleh berhenti pada isu komersialisasi pendidikan. Tetapi ujian bagi kemampuan untuk mengembangkan PT yang profesional dan unggul, dengan tidak melupakan ‘karakter dasar’ sebagai lembaga pendidikan tinggi milik publik.

Upaya memposisikan PTN sebagai intellectual formation sehingga berperan dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis dengan perubahan status hukumnya, maka harus dilacak karakterisasi dan profil yang tepat untuk menghindari keterjebakan PT BHMN dan BHP ke dalam ‘kapitalisme pendidikan’. Untuk itu, minimal ada tiga prinsip fundamen yang dibutuhkan untuk membentuk karakter ideal sebuah PT BHMN dan BHP.

Pertama, pendidikan sebagai tanggung jawab sosial. Tujuan sosial pendidikan tinggi ini harus merupakan dasar dari prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan suatu PT. Bagi setiap PT berlaku, bahwa penyelenggaraan kegiatan fungsional (Tri Dharma PT) ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat manusia, serta mengacu pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang senantiasa berkembang. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab sosial, maka konsekuensinya negara harus mensupport total kegiatan pendidikan tinggi. Dengan kata lain, negara harus bertanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan.

Kedua, kapasitas manajemen yang profesional. Penting bagi PT untuk memiliki kemampuan manajemen dan kapasitas perencanaan yang mencukupi. Desakan adanya akuntabilitas dan peningkatan efisiensi, risiko yang mungkin ditemui dalam membuat berbagai keputusan dan standar kualitas yang dipersyaratkan, memerlukan tingkat kapasitas manajemen dan kepemimpinan yang mencukupi.

Selama Orde Baru, PTN sebagai suatu unit di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak memiliki otonomi pengelolaan yang lebih luas. Kebijakan pendidikan sangat terasa sentralistiknya, yang mengakibatkan kebebasan akademis dan kemandirian kampus sangat terpasung oleh penguasa. Akibat hal ini, upaya terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan terhambat. Manajemen pendidikan yang sentralistis tersebut menyebabkan kebijakan yang seragam dan tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman/kepentingan PTN bersangkutan, mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan.

Ketiga, peningkatan kualitas akademis yang terus-menerus. Definisi dari kualitas mencakup pelaksanaan norma akademik dan nilai yang berlaku pada PTN bersangkutan, harus menjamin bahwa kepentingan kualitas tidak dikorbankan karena pertimbangan seperti keuangan, politik, dan keuntungan ekonomis lainnya. Perubahan karakter, yang awalnya PTN menjadi PT BHMN dan BHP, perlu dilakukan secara bertahap dan sistematik agar tidak menyebabkan potensi konflik yang mengarah pada suasana destruktif.

Semangat perubahan itu harus pula diakomodasi dalam sebuah rencana induk pengembangan, sehingga setiap elemen di universitas baik program studi, jurusan, fakultas, ataupun universitas mesti memahami arah dan kebijakan, serta strategi dan prioritas yang akan diambil oleh manajemen PT tersebut.

Namun yang perlu menjadi perhatian kita bersama adalah komitmen sebuah PT untuk tetap memberi kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat, tanpa ada langkah yang diskriminatif seperti alasan ekonomi. Apalagi sampai mengorbankan kepentingan sosial akibat masalah ekonomi. Jangan ada lagi kita mendengar seorang calon mahasiswa harus gigit jari akibat gagal masuk PT disebabkan mahalnya biaya pendidikan untuk masuk PT, padahal calon mahasiswa tersebut memiliki intelektual yang mumpuni untuk berstatus sebagai seorang mahasiswa.

Selain itu, yang terpenting bagi pemerintah daerah di mana universitas tersebut berada, memberikan kontribusi terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas mutu dari universitas tersebut dengan memberikan bantuan terhadap peningkatan kualitas dosen dan mahasiswa. Dengan harapan, fungsi Tri Dharma PT dapat direalisasi dengan baik. Meski demikian, universitas juga harus mendesain sedemikian rupa dapat mencari pendanaan guna meningkatkan sarana pendidikan agar tercapai cita-cita luhur dari Tri Dharma PT tersebut.

Mahasiswa Fisip Unlam Banjarmasin
e-mail : Lazuardi_fisipol@yahoo.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post

Kamis, 17 Nopember 2005 01:52


Good Governance Dalam Menyongsong Perubahan Di Kalsel

Oleh : Akhmad Lazuardi Saragih

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung 2005 di Kalsel telah usai. Kini masyarakat Kalsel memiliki secara sah pemimpin daerahnya. Terpilihnya Rudy Arifin dan Rosehan sebagai gubernur dan wakil gubernur, berarti kita memasuki babak baru dalam sejarah proses penyelenggaraan pemerintahan di Kalsel. Terlepas dari proses penyelenggaraan pilkada yang melelahkan dan menghabiskan biaya yang begitu besar, sepatutnya kita menyadari, perhelatan akbar itu sebagai suatu proses kematangan berpolitik dan berdemokrasi bagi masyarakat.

Meski demikian kita harus menyadari, filosofi dari pilkada langsung adalah kekuasaan tidak bersumber dari pemimpin/pemerintah, namun dari rakyat. Oleh karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya, maka dalam masa kepemimpinannya pun dituntut mengutamakan kehendak rakyat. Selain, mampu menjalin kerjasama dengan elemen masyarakat yang menjadi sumber legitimasi politiknya.

Adalah sebuah keharusan di era globalisasi dewasa ini, dalam menjalankan proses pemerintahan selalu bertumpu pada dinamika zaman yang bercirikan perubahan. Sejalan dengan itu, sangat menarik jika pasangan Rudy-Rosehan (2R) menjadikan momentum pascapilkada (masa pemerintahannya) sebagai sebuah perubahan yang bernafaskan pada terwujudnya masyarakat yang tertib, aman dan demokratis.

Semangat perubahan yang ingin digaungkan pada dasarnya sejalan dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis. Di era reformasi sekarang menuntut adanya pemerintahan yang cermat dan tepat dalam mengelola pelayanan publik secara lebih tranpararan, partisipatif, sehingga pelayanan menjadi lebih akuntabel demi terwujudnya konsep good governance.

Secara mendalam penulis menjelaskan apa sebenarnya good governance itu. Dan, apa kaitannya konsep good governance terhadap pelayanan publik yang esensinya untuk lebih memudahkan sistem pelayanan terhadap masyarakat. Penulis berkeyakinan, dengan adanya penjelasan seperti ini akan memberikan pengetahuan sehingga ketidaktahuan masyarakat, birokrat, anggota legislatif sebagai wakil rakyat akan mengetahui esensi dari penerapan good governance. Apalagi penulis berharap, Kalsel sebagai pilot project pelaksaaan konsep good governance menjadi keharusan kita untuk mengetahui apa sebenarnya good governance itu. Dengan demikian tidak terjadi kesalahpahaman, apalagi sampai kebingungan tentang apa itu konsep good governance.

Esensi GG

Istilah good governance secara sederhana bermakna tata kepemerintahan yang baik. Latar belakang munculnya perspektif ini sebenarnya tak terlepas dari pengaruh arus demokratisasi yang melanda dunia, yang berefek pada timbulnya kesadaran pada keterbatasan kelembagaan formal pemerintahan dalam menjamin pemenuhan tuntutan masyarakat yang kian kompleks dan kritis. Dalam konteks demokratisasi, pada intinya perspektif ini menekankan perubahan atas paradigma pembangunan yang semula lebih berpusat pada government beralih ke governance.

Apa itu governance? Government jelas tak sama dengan governance. Jika government artinya merujuk pada badan yang menjalankan pemerintahan, maka dengan istilah governance perhatian bergeser ke dalam suatu pengertian interaksi kelembagaan yang meluas, tak sekadar terpusat pada pemerintah (negara). Namun bergeser ke suatu proses interaksi kepemerintahan yang melibatkan unsur nonstate actor, atau aktor di luar struktur pemerintahan secara sinergis.

Meski demikian, sebenarnya governance adalah istilah yang netral. Karena itu, perspektif ini secara garis besar jelas membagi adanya dua tipe governance, yaitu democratic governance dan authoritarian governance. Model yang demokratis itu disebut good governance. Artinya, secara sepesifik merujuk pada sistem politik dan pemerintahan yang dikelola secara adil, transparan, akuntabel serta melibatkan peran masyarakat secara partisipatif. Sedangkan model governance yang otoritarian, diwarnai praktik korupsi dan penyelewengan kekuasaan lainnya. Dengan gamblang dapat disebut sebagai bad governance.

Selama ini, good governance dititikberatkan pada birokrasi atau kalangan eksekutif. Padahal good governance memiliki tiga domain yaitu: negara atau pemerintahan (state); sektor swasta atau dunia usaha (private sector); masyarakat (society). Peran sektor pemerintah lebih didominasi sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak berkecimpung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat pada posisi sebagai objek sekaligus subjek dari sektor pemerintah maupun swasta.

Masyarakat dengan posisinya selain menjadi tumpuan harapan pihak lain, sering menjadi ajang interaksi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pergolakan apa pun, imbasnya akan ke masyarakat.

Penguatan Civil Society

Masyarakat yang perlu dikembangkan dalam konsep good governance, karena penulis yakin peran serta mereka adalah ikhwal yang paling diharapkan mampu dapat menjadi embrio yang turut menjadikan konsep good governance itu dapat tercapai. Saat ini tidak sinerginya antara konsep yang diterapkan dalam good governance, karena ketiadaannya masyarakat turut serta dalam mengembangkan konsep good governance. Itu sebabnya penulis menekankan pentingnya penguatan sipil dalam jaringan terpadu, sehingga konsep good governance menjadi lebih integral dengan pilar pemerintah dan swasta.

Masyarakat sipil (civil society) sebagai pilar kontrol politik, secara esensial merujuk pada wadah informal yang lahir dan dibangun oleh unsur masyarakat. Posisinya amat strategis secara politik, karena sebagai organ vital demokrasi di luar struktur kelembagaan formal pemerintah. Namun demikian, peranan civil society belum mendapatkan pemberdayaan secara proporsional. Dibandingkan peranan legislatif lokal (DPRD), perhatian atas pengembangan peranan civil society ini seringkali diabaikan. Bahkan cenderung dipandang sebagai gangguan dan ancaman bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutan, bukan hanya tergantung pada pemerintahan yang mampu memerintah serta komunitas bisnis yang mampu menyediakan pekerjaan. Melainkan pada organisasi masyarakat sipil (civil society organizations) yang memfasilitasi interaksi sosial dan politik, serta yang memobilisasi berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik.

Organisasi masyarakat sipil tak hanya melakukan check and balances terhadap kewenangan kekuasaan pemerintah dan komunitas bisnis. Tetapi, mereka dapat memberikan kontribusi dalam memperkuat tercapainya konsep good governance. Ini yang menjadi benang merah bagi tercapainya suatu tatanan masyarakat yang dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, di mana peran masyarakat lebih diberdayakan bukan diperdayakan.

2R Dan Pelayanan Publik

Untuk menciptakan pelayanan publik yang bermutu dan akuntabel, perlu adanya setting yang baik pada tataran sistem, insitusi maupun individu untuk berorientasi pada pengedepanan proses good governance dalam pengelolaan pelayanan publik. Untuk itu diperlukan adanya perubahan paradigma mind set dari aparat pemda untuk mencari kombinasi yang tepat antara pendekatan bottom up dengan top down, partial dengan comprehensive serta keseimbangan antara inward looking dengan outward looking dalam mengelola pelayanan publik.

Pemda di bawah bendera 2R dituntut mampu menjawab tiga tantangan berat dalam era reformasi dan globalisasi dewasa ini berkaitan dengan penyediaan pelayanan publik. Pertama, pemda harus mampu mengedepankan nilai demokrasi yang bercirikan partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kedua, pemda harus mampu mengedepankan keunggulan kompetitif dalam menghadapi globalisasi. Ketiga, pemda harus mampu menciptakan ketentraman dan ketertiban melalui pengedepanan rule of law sebagai koridor demokrasi agar terhindar dari anarki.

Untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik serta dikaitkan dengan tuntutan adanya pelayanan publik yang bermutu dan akuntabel, penulis menyarankan kepada pemda melakukan langkah yang menurut penulis bisa dijadikan standar untuk melihat indikator kemajuan daerah.

Langkah itu antara lain: 1) Mewajibkan pemda membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan pelayanan umum. 2) Temuwicara dengan masyarakat dan mass media mengenai hal yang berkaitan pelayanan publik. 3) Menciptakan keterkaitan antara kewajiban pembayar pajak dengan pelayanan pemda sebagai perwujudan dari prinsip no tax without representation. 4) Adanya peran masyarakat dalam menentukan jenis dan mutu pelayanan publik yang sesuai kebutuhan masyarakat. 5) Adanya kemungkinan menciptakan kompetisi dalam penyediaan pelayanan yang dulunya merupakan domain dari pemda, sehingga terjadi kompetisi pasar yang sehat. 6) Adanya kedekatan dengan masyarakat selaku konsumen. 7) Kemauan mendengarkan aspirasi masyarakat dan adanya akses bagi masyarakat atas pelayanan pemda. 8) Kemauan menerima pandangan, saran dan keluhan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan pemda. 9) Adanya hak dari masyarakat untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan dan kualitas pelayanan yang baik. 10) Adanya pelayanan yang berorientasi pada 3E (Economy, Efficiency, Effectiveness).

Political Will 2R

Untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang bercirikan pola tata pemerintahan yang baik, tak bisa dilepaskan dari political will pemerintah, peran masyarakat serta pilar demokrasi lainnya seperti insan pers.

Karenanya menjadi keniscayaan bagi 2R untuk menjadikan asas hukum pemerintahan yang baik selalu bercirikan pada tiga hal sangat mendasar yakni: akuntabilitas publik, transparansi, dan kepastian hukum (rule of law). Akuntabilitas publik menghendaki setiap perilaku dan tindakan pejabat publik baik dalam pengambilan kebijakan (public policy), keuangan dan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Transparansi atau keterbukaan mensyaratkan, setiap pejabat publik berkewajiban memberikan informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif, baik diminta maupun tidak oleh masyarakat. Kepastian hukum merupakan kewajiban bagi setiap pejabat publik untuk memberikan jaminan dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik (public policy) yang diambil.

Konsekuensinya, setiap pejabat publik berkewajiban memberikan perlakuan yang sama bagi setiap warga dalam menjalankan fungsi pelayanan publik (equality before the law). Dengan demikian, tindakan pejabat publik yang tak sesuai asas umum pemerintahan yang baik seperti kebijakan publik yang tak transparan, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan tindakan yang tak sesuai semangat supremasi hukum dapat dikategorikan menjadi perbuatan maladministrasi publik.

Saran kepada pemda, pemerintahan yang memiliki dukungan politik yang kuat tetapi ternyata tak berdaya dalam membuat kebijakan yang tepat, bisa merosot dukungannya. Sebaliknya, pemerintahan yang memiliki kebijakan dan dukungan politik yang kuat tetapi administrasi pemerintahannya bermasalah, pemerintahan itu pun akan mengalami persoalan berat, bahkan akan membuat masalah baru bagi pemerintahannya.

Berkaitan dengan itu, sangat menarik untuk diperhatikan agar pemda beserta perangkatnya selalu memperhatikan tatanan yang harmonis dalam menjalankan konsep good governance. Keinginan kuat dari pemimpin daerah beserta perangkatnya dalam membuat tatanan pemerintahan yang baik, tidak cukup sampai di situ. Peran serta masyarakat dan swasta dalam menyukseskan Kalsel sebagai pilot project penerapan konsep good governance adalah suatu keharusan yang saling sinergis satu sama lain.

Karenanya, kemauan politik 2R sangat diharapkan untuk merangkul semua pihak, terlebih bertitik tolak pada kepentingan masyarakat. Pada dasarnya 2R adalah hasil pilihan rakyat lewat pilkada, sehingga sangat bertolak belakang jika kepentingan masyarakat tak menjadi rujukan dalam rangka pembuatan berbagai kebijakan publik yang mengingkan tercapainya keadilan dan kemakmuran masyarakat di Bumi Antasari.

* Mahasiswa FISIP Unlam Banjarmasin
e-mail: lazuardi_fisipol@yahoo.com


Copyright © 2003 Banjarmasin Post




Radar Banjarmasin. Berita Opini Rabu, 24 Januari 2007


Legalitas Perampasan Uang Rakyat di Negeri Maling
Oleh: Akhmad Lazuardi Saragih

DI akhir tahun 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2006 (PP 37/2006) tentang kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam beberapa item PP tersebut menyaratkan pembayaran uang tunjangan dana operasional bagi anggota DPRD untuk dibayar berdasarkan berlaku surut, itu artinya: DPRD mendapatkan “uang kaget” setelah pemberlakuan PP itu.

Lahirnya PP itu telah menciderai semangat antikorupsi serta mengiris perasaan masyarakat di saat keuangan negara sedang bermasalah. Kini aturan itu telah menjadikan persoalan baru bagi kita semua sehingga pemerintah membiarkan rupiah bermilyar-milyar terbuang sia-sia bahkan dengan lahirnya PP itu secara telanjang telah menggerogoti dana rakyat sebesar Rp1,2 triliun dengan asumsi 80 juta perorang anggota DPRD dikalikan dengan 15.000 orang anggota DPRD di seluruh Indonesia.

Tercatat, sejak terbentuknya DPRD hasil pemilu 2004, PP No 37/2006 telah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan diberlakukannya PP 24/2004 dan PP 37/2005. Artinya, dalam rentang waktu kurang dari dua setengah tahun, Presiden telah menetapkan tiga kali peraturan pemerintah tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Celakanya, yang diutak-atik hanya besarnya kenaikan tunjangan bagi Pimpinan dan Anggota DPRD saja, dan angka terkait kenaikan itu pun sangat fantastis.

Padahal, kenaikan itu pun masih akan bertambah dengan adanya tunjangan kesejahteraan lainnya berupa pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan, pakaian dinas, dan biaya yang ditimbulkan dari perjalanan dinas. Belum lagi berdasar informasi, gaji eksekutif (kepala daerah) akan dinaikkan yang juga secara otomatis menaikkan kembali pendapatan legislatif daerah tersebut.

Dana sebesar itu cukup luar biasa apabila digunakan bagi kemaslahatan masyarakat, ketimbang sekadar menghambur-hamburkan uang rakyat, padahal wakil raykat telah menerima pelbagai tunjangan serta gaji yang dinilai sudah dibilang lebih dari cukup untuk sebuah tugas dan fungsi anggota DPRD.

Bertameng Legalitas

Dilihat dari aspek hukum, pemerintah daerah khususnya para gubernur, bupati/walikota tak berdaya dengan lahirnya peraturan pemerintah itu. Wakil rakyat di tingkat parlemen daerah jelas akan menuntut dana yang digulirkan dari lahirnya PP tersebut.

Tuntutan itu lebih didasarkan atas ihwal bahwa pemda (eksekutif) tak mampu membendung semangat yang bergelora di kalangan wakil rakyat (legislatif) untuk segera mencairkan tunjangan dana operasioanl mereka.

Melihat dari persoalan itu jelas sekali pemberlakukan PP 37/2006 yang menyaratkan pembayaran uang representasi untuk dana operasional anggota DPRD telah melahirkan sebuah anomali dari proses produk eksekutif yang membuat kebijakan yang koruptif dengan bertamengkan aturan mengingat.

Ditilik dari hal itu semua, pemerintah telah melegalkan semangat “pencurian” uang rakyat secara telanjang dengan melahirkan pemberlakuan PP 37/2006. Sekali lagi hal itu mengindikasikan lahirnya PP 37/2006 sebagai buah yang menggelontorkan semangat koruptif yang dilegalkan secara mengikat. Ini adalah sebuah kesalahan fatal yang diperbuat oleh pemerintah, di saat pemerintah sedang giat-giatnya memerangi korupsi serta menjaga efisiensi keuangan negara.

Denny Indrayana, Kepala Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dalam perbincangan dengan saya menuturkan: negara telah berbuat zalim sehingga membuat tameng bagi mereka yang ingin berbuat korupsi dan merampas uang rakyat.

Denny mensinyalir perbuatan itu telah membuat tata kelola pemerintahan dan etika bernegara menjadi rusak, sehingga pemberlakuakn kebijakan itu tak sepantasnya dilakukan dalam proses ketatatanegaraan.

Pemberlakuan PP 37/2006 yang berlaku secara surut bagi pembebanan keuangan daerah telah menistakan keterpurukan keuangan daerah, yang berdampak terjadinya defisit anggaran. Ini membuktikan pemberlakukan PP 37/2006 telah mengobok-obok pengelolaan keuangan di berbagai daerah sehinggga tata kelola anggaran menjadi kacau.

Semangat otonomi daerah yang digelorkan sebagai sebuah proses demorasi di tingkat lokal, telah diobrak-abrik oleh pemerintah pusat. Ini menunjukan, pemerintah pusat masih setengah hati dalam memberikan kewenangan bagi pemda dalam menata birokrasi dan tata pemerintahannya.

Mencermati Kalsel

Pemberlakukan PP 37/2006 tentu saja juga berlaku bagi semua daerah tak terkecuali bagi Kalsel. Kalsel adalah salah satu provinsi yang memiliki 13 DPRD di tingkat kabupaten/kota serta satu DPRD di tingkat provinsi. Itu artinya, berapa banyak dana yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat (pemda) untuk membayarkan tunjangan anggota DPRD.

Untuk di tingkat DPRD Kalsel saja dana yang dibebankan dari pemberlakukan PP 37/2006 sebesar 5 milyar. Sementara untuk kota Banjarmasin sebesar Rp3 milyar, serta kota Banjarbaru sebesar Rp2,2 milyar. Itu artinya berapa besar dana rakyat yang terkumpulkan dari sebuah kebijakan pemerintah yang tertuang dari PP 37/2006 sehingga membuat pembebanan bagi anggaran daerah.

Kalau di hitung-hitung secara kalkulasi dana yang tersedot dari pemberlakukan PP 37/2006 untuk wilayah Kalsel dengan asumsi 13 kabupaten/kota dan satu Provinsi mencapai Rp40 milyar lebih.

Saya kira dana sebesar itu, bila digunakan untuk kepentingan yang lebih efektif akan menjadi tepat guna untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat, misalkan bagaimana dana itu digunakan untuk proses pembangunan infrastruktur sekolah yang rusak, peningkatan kualitas hidup masyarakat di beberapa daerah atau desa yang tertinggal di Kalsel.

Kita berharap kepada lembaga-lembaga antikorupsi di tingkat daerah atau lembaga-lembaga yang fokus terhadap masalah sosial kemasyarakatan serta rekan-rekan mahasiswa untuk lebih mengintensifkan secara penuh dan menggalang kekuataan untuk menolak pemberlakuan PP 37/2006 di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Kalsel dan mendorong kepada Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan judicial review terhadap PP 37/2006 dengan alasan bahwa keuangan negara kita saat ini sedang dalam masa panceklik.

Alasan Kamuflase

Berbagai alasan yang dibeberkan oleh anggota DPRD setelah berlakunya PP 37/2006 diwarnai pelbagai macam tanggapan dari anggota DPRD, salah satunya dengan mengatakan bahwa dana itu ‘akan’ digunakan untuk kepentingan proses komunikasi politik serta dialog dengan para konstituen.

Ibnu Sina, anggota DPRD Kalsel dari PKS mengatakan, secara umum akan memfokuskan dana tunjangan representasi itu untuk mendorong proses komunikasi politik kepada konstituen. Padahal kalau mau jujur, proses komunikasi politik dengan konstituen juga bisa dilakukan tanpa tambahan dana, misalkan melakukan komunikasi politik dengan konstituen di saat-saat masa reses.

Sementara itu pernyataan wakil ketua DPRD Kalsel Ma’wah Maskur dan politikus asal PAN SJ Abdis seperti yang dikutip harian lokal di Banjarmasin menyebutkan: “beban kerja DPRD terlalu besar sehingga wajar menerima tunjangan sebesar itu”.

Pernyataaan kedua orang politisi ini sama sekali tak mencerminkan semangat kesederhaan dalam hal tata kelola anggaran, yang nota ane anggaran itu yang berasal dari uang rakyat. Mereka seolah dengan mudahnya mengatakan gaji beserta tunjangan yang mereka terima masih sangat minim, sementara mereka dengan mudahnya menjustifikasi bahwa kerja mereka sangat berat.

Padahal kalau boleh mau jujur, apa yang sudah mereka perbuat bagi masyarkat Kalsel, langkah apa yang sudah mereka lakukan dalam membuat sebuah regulasi yang tercermin pada pembuatan peraturan daerah (Perda) yang membuat suasana ekonomi dan pembangunan serta investasi Kalsel lebih maju; sudahkah fungsi-fungsi pengawasan yang mereka lakukan terhadap eksekutif dilakukan dengan tepat? Pertanyaan-petanyaan mendasar ini mestinya menjadi rujukan bagi mereka agar berkaca diri sehingga harus tahu diri agar tak meminta kepada pembebanan anggaran secara lebih.

Kalau hanya berdalih dengan mengatakan proses komunikasi politik yang mereka lakukan dengan para konstituennya adalah terlalu berat, hal itu sangat tidak beralasan. Mereka dipilih oleh rakyat, mestinya mereka punya studi pemetaan bagaimana mengatur pola hubungan komunikasi politik dengan para konstituennya dengan cara lebih efektif dan efisien.

Saya kira proses komunikasi politik dengan para konstituen belum menyentuh pada persoalan bagaimana konstituennya diajak untuk berpartisipasi dalam hal pendidikan politik yang baik, bukan sekadar proses komunikasi yang searah dengan tujuan meraih kekuasaan kembali. Proses komunikasi politik yang diterjemahkan ke dalam proses pendidikan politik yang baik mestinya dilakukan dengan cara-cara dialogis yang timbal balik sehingga mampu memberikan solusi bagi proses pemberdayaan masyarakat kearah yang lebih baik dalam memahami proses berpolitik yang baik dan cerdas. Pola dan langkah hubungan komunikasi politik inilah yang masih kita pertanyakan bagi anggota DPRD ditingkat daerah dalam menjalannya.

Sangat tidak beralasan jika PP 37/2006 itu diberlakukan bagi anggota DPRD, karna semangat kinerja anggota DPRD semakin tidak menunjukan perubahan yang berarti dan substansi, sehingga keterfungsian tugas-tugas legislatif tidak dijalankan secara lebih baik. Maka sangatlah tidak wajar bilamana mereka menuntut dinaikannya tunjangan.

Kesimpulannya, lahirnya PP 37/2006 tak sekadar kebijakan yang mengecewakan rakyat, tetapi kebijakan itu telah menjadi perusak proses demokrasi yang telah kita bangun serta sangat menciderai semangat antikorupsi yang telah kita gaung-gaungkan bersama.

Pengeluaran keuangan negara tak bisa digunakan dengan seenaknya tanpa aturan yang jelas dan efektif serta efisien. Pengeluaraan keuangan negara seyogianya harus dibarengi dengan tingkat akuntabilitas publik yang transparan, persoalannya sekarang, negara kita sedang berada di negeri maling yang melegalkan hasil jarahannya dengan bertamengkan pada aturan-aturan yang mengingat, celakanya aturan itu sendiri dibuat oleh institusi negara yang notabene menaungi nasib rakyatnya sendiri. Sungguh ironis.***

Alumni FISIP Unlam Banjarmasin

Senin,19/9/05 07:33 WIB
Potret Unlam Dan Pergulatan Dunia Intelektual
Oleh : Akhmad Lazuardi Saragih*)

Tahun akademik 2005-2006 di seluruh perguruan tinggi di Indonesia telah dikumandangkan. Pintu gerbang dimulainya kumandang ‘adzan’ bagi kaum intelektual untuk kembali menggodok ilmu pengetahuan mulai berlangsung sesuai nafasnya. Di lingkungan Kalsel, gendrang lonceng tahun ajaran akademik khususnya di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) sebagai perguruan tinggi negeri, bergeliat untuk memulai interaksi proses akademik.

Sangat menarik untuk dibicarakan dalam kerangka analisa produktif terhadap perjalanan Unlam dari masa ke masa yang harapannya dapat memajukan Unlam kearah yang lebih baik.

Unlam lahir sebagai cita-cita luhur pejuang ALRI Divisi IV Kalimantan di bawah pimpinan gubernur Hasan Basry yang memperjuangkan didirikannya perguruan tinggi di Kalimantan sebagai wadah lembaga pendidikan tinggi, harus dikembangkan generasi penerusnya. Moto Unlam waja sampai kaputing, wajib dikibarkan dan dikumandangkan oleh seluruh sivitas akedemika sebagai fundamen dalam merealisasikan cita-cita luhur pejuang pendiri Unlam.

Adalah bentuk moralitas yang berbudi luhur dari anak bangsa, jika nilai perjuangan founding father Unlam yang dengan suka rela menyatakan kesepakatannya membentuk sebuah lembaga pendidikan tinggi bercirikan keilmiahan tetap dijaga kelangsungannya sebagai bentuk perhatian kita terhadap masa depan generasi penerus di Bumi Lambung Mangkurat.

Tapi apa lacur, dalam perjalanannya paradigma pendidikan tinggi yang diselenggarakan Unlam sudah bergeser dari cita-cita luhur pendirinya. Lihat saja, Unlam jauh tertinggal dari universitas negeri yang ada di Indonesia. Jangan heran, kalau universitas yang telah melahirkan banyak alumni ini malah tidak dikenal oleh masyarakat. Malah kalah populer dengan universitas yang ada di daerah tetangganya sendiri.

Harapan Unlam sebagai lembaga penggodokan ilmu pengetahuan yang dicita-citakan untuk memberikan nuansa khazanah keilmuan yang menghargai identitas budaya dan selalu bercirikan moralitas etika keilmuan, ternyata mengalami degradasi intelektual sehingga membuat keprihatinan terhadap eksistensi Unlam itu sendiri.

Tak pelak, Unlam pun diterpa gempuran berbagai penyakit modern. Sayangnya, orang-orang Unlam sendiri mau menerima penyakit ini dengan lagu dan irama yang sama. Akibatnya, tradisi keilmuan dan kultur atmosfir akademik menjadi mandul dan tidak memberikan pencerahan terhadap kemajuan pendidikan di daerah.

Banyak sudah suara sumbang yang mengalir deras di telinga kita tentang eksistensi Unlam sekarang. Tapi sayang, telinga kita sudah tertutup rapat untuk tidak mendengarkannya lagi. Tak ada lagi budaya malu di ruang publik, ketika etika dan tradisi keilmuan sudah tidak menjadi keharusan untuk dimiliki oleh setiap insan kampus.

Di usianya yang ke 45 tahun, Unlam sebagai perguruan tinggi negeri terhitung 1 November 2005 nanti, adalah keharusan untuk bersama-sama merapatkan barisan guna menempatkan peradaban Unlam ke dunia intelektual yang dinamis.

Pergulatan dunia intelektual tidak bisa dilepaskan dari sebuah pergulatan dunia kampus yang tak lepas dari proses belajar-mengajar (pengajaran). Namun secara umum, saya melihat geliat kampus Unlam sebagai sebuah institusi ilmiah yang menjadi dapur penggodokan ilmu pengetahuan belum terlihat secara baik dan tepat dalam menjalankan gerak roda perputaran pemikiran intelektual akademik.

Proses belajar-mengajar, misalnya, yang menjadi bagian dari penggodokan ilmu pengetahuan masih terkesan parsial, abstrak. Malah cenderung tidak dinamis, akibatnya sangat kurang menghasilkan benih intelektual yang mumpuni.

Proses pengajaran yang diterapkan di kampus, masih berbentuk ‘mengisi botol kosong’ dosennya ketimbang bagaimana memberikan kreativitas untuk mengembangkan daya imajinasi pola pikir yang dimiliki mahasiswa. Alih-alih untuk mengembangkan kreativitas intelektual, justru mahasiswa diibaratkan sebuah mesin ‘fotokopi’ dosennya ketimbang menjadikan sebagai seorang mahasiswa progresif yang merupakan unsur dari masyarakat pencari ilmu.

Revolusi Pengajaran

Sungguh sedih pergulatan kaum intelektual kampus Unlam hari ini. Tapi pertanyaannya adalah, haruskah kita berhenti bergerak untuk tidak mermbangkitkan semangat revolusi pengajaran di Unlam? Revolusi pengajaran dimaksud adalah bagaimana caranya membangkitkan semangat perjuangan untuk meraih cita-cita luhur dari pendiri Unlam yang mengharap lahirnya sebuah masyarakat kampus yang memiliki wawasan intelektual, dinamis, cerdas dan berpikir cemerlang.

Memang saya tidak terlalu pesimis, tetapi juga tidak terlalu optimis untuk melihat kondisi Unlam bisa maju kembali. Hanya tergantung bagaimana kita menjatuhkan hati untuk bersama-sama membangun peradaban Unlam ke arah yang lebih baik. Adalah sebuah keniscayaan untuk mengartikan Unlam sebagai bentuk institusi dari kesatuan yang utuh, tidak terpecah belah apalagi sampai tercabik-cabik akibat sikap mental kita yang tidak lagi hormat pada nilai luhur adab kemanusian dan moralitas etika keilmuan.

Untuk mengembalikan dan merekonstruksi kembali pola pikir kita ke arah yang lebih baik, diperlukan cara jitu untuk melakukan perubahan menuju pergulatan kaum intelektual yang berpikir jauh ke depan. Selain bagaimana sebenarnya memfungsikan kaum terpelajar (mahasiswa) dalam ruang lingkup Unlam dalam melakukan penggodokan ilmu pengetahuan. Lebih penting lagi adalah bagaimana mahasiswa dapat mengembangkan pola pikirnya melalui wadah kelompok kegiataan yang bernuansa ilmiah.

Memang tak bisa bisa dipungkiri, wadah generasi mahasiswa yang tertuang dalam kelompok kegiataan mahasiswa di Unlam kurang diminati mahasiswanya sendiri. Mahasiswa cendrung senang pada nuansa hedonistik, konsumtif, dan bergeliat kegiataan yang pragmatik. Sangat sedikit mahasiswa Unlam yang berpikir kreatif berpolakan pada sikap dinamisasi pergerakan mahasiswa yang menunjung tinggi nilai intelektual.

Padahal, hakikatnya tugas utama mahasiswa adalah mengoptimalkan keseluruhan fungsi jati diri mahasiswa itu sendiri. Fungsi dimaksud adalah fungsi intelektual akademis, cadangan masa depan (iron stock), agen perubahan (agent of change). Dan, yang menjadi kata kuncinya adalah sebagai seorang pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan berpikir yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan yang jauh meninggalkan zamannya.

Untuk ukuran mahasiswa semcam ini, maka kiprah kita sebagai seorang kaum intelektual senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai seorang pemimpin sejati. Meski demikian, ini bukan tugas mahasiswa saja. Tetapi lebih dari itu, bagaimana memfungsikan seluruh komponen kampus di lingkungan Unlam itu sendiri.

Sosok Pemimpin Unlam Idaman

Untuk merekam jejak perjalanan dari ketimpangan paradigma pendidikan tinggi di Unlam, maka kita tidak bisa melepaskan dari fungsi dan peran serta dari seorang pemimpin kampus. Tentunya seorang pemimpin kampus dalam hal ini rektor harus bisa mengakomodasi berbagai masukan dari seluruh komponen universitas, sehingga terjadi pergulatan intelektual yang bergerak dinamis menuju sebuah pembaharuan.

Saat ini kita memerlukan sosok rektor Unlam yang mumpuni, bukan seorang rektor yang hanya berbicara teori dan mengumbar janji. Saya membayangkan, bagaimana seorang rektor Unlam bisa menjadi kebanggaan bagi semua orang. Tak hanya dari kalangan Unlam, tetapi bagaimana sosok rektor Unlam bisa tampil berwibawa di kalangan banyak orang. Rektor yang berpikir cerdas, lebih-lebih pandai menghargai pandangan dan pikiran orang lain.

Seorang rektor dan pemimpin universitas termasuk di dalamnya seorang dekan dan dosen yang saya idam-idamkan, adalah seorang yang tak kenal lelah untuk menyatakan kecintaannya terhadap kebangkitan dunia intelektual yang berkiblat pada kebenaran dan kejujuran.
Rektor diibaratkan sebagai sosok pelita yang menjadi awal bagi terangnya cahaya kondisi kampus. Dengan cahaya terang, sungguh menjadi indah yang tak ternilai harganya. Apalagi kalau seandainya keindahan itu dihiasi lukisan yang mengukir kreativitas intelektual insan kampus.

Kapan saya bisa melihat dan memandang indahnya potret sosok pemimpin Unlam semacam ini? Adakah rasa keinginan kita semua untuk meminta dan menaruh perhatian serius terhadap pemimpin Unlam, ataukah kita hanya asyik untuk ‘beronani’ ria dengan sikap egois dan kepicikan yang kurang memperhatikan eksistensi almamater Unlam.

Saat ini kita memerlukan pemimpin yang benar-benar memiliki rasa keprihatinan mendalam terhadap kondisi Unlam. Kita tidak mau terjebak dalam masalah yang seharusnya kita tidak perlu ikut campuri. Dalam arti, bagaimana sebenarnya kita menempatkan posisi Unlam sebagai wadah yang bercirikan lembaga ilmiah terdepan dalam memberikan pencerahan khazanah tradisi keilmuan, sehingga nilai intelektual akan menjadikan modal dasar yang harus kita pegang dalam menjawab persoalan yang semakin global.

Kalau masih berkecimpung dalam lumpur dan asyik bergulat dengan dunia ‘jahiliyah’, niscaya nama kita sebagai kampus akan tercoreng. Saya masih menaruh perhatian sangat serius untuk bersama-sama membangun dan meletakkan kampus Unlam sebagai lembaga ilmiah terdepan, dan menjadikan kampus Unlam sebagai sumber inspirasi terhadap khazanah keilmuan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan kekinian.

Sudah saatnya kita mengumandangkan ‘adzan’ bagi seluruh kompenen sivitas akedemika Unlam, untuk bangun dari tidur berkepanjangan dan kembali menggepakkan sayap menempuh cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk memulainya, kita punya potensi dan aset yang cukup banyak sehingga menjadikan pola sistem pendidikan dan pembelajaran akan menjadi lebih baik dan dinamis. Karenanya, diperlukan keberanian mengubah pikiran ‘kotor’ untuk menjadikannya lebih jernih kembali.

Ini tugas kita bersama, yang tidak hanya bisa diceramahkan, diseminarkan, disimposiumkan, ataupun dituliskan. Tetapi lebih dari itu, bagaimana sebenarnya langkah kita menjadikan tahun akademik 2005-2006 untuk membentuk formasi yang tepat dalam menjawab berbagai tantangan yang melanda dunia pendidikan tinggi di daerah kita.

Kepasrahan kita yang tidak memberikan perubahan terhadap kondisi Unlam ke arah yang lebih baik adalah sikap kaum intelektual yang kurang menghargai nilai keilmiahan. Sudah saatnya kita raih kembali moto waja sampai kaputing yang selalu menjadi icon perjuangan Unlam. Motto ini hendaknya tidak diartikan secara lain. Tetapi bagaimana motto itu selalu menjadikan spirit bagi insan kampus untuk menggalang kekuatan menuju dunia pendidikan tinggi yang berdaya saing dan selalu menjunjung etika keilmuan.

Sangat sulit rasanya mengupas secara menyeluruh terhadap potret Unlam. Kita hanya berharap, tahun akademik 2005-2006 dijadikan sebagai momentum tahun pengabdian untuk membentuk rasa percaya diri dalam membangkitkan semangat perjuangan pendiri Unlam menuju peradaban Unlam yang lebih baik. Pendiri Unlam akan tersenyum ketika melihat generasi penerusnya berhasil mengibarkan semangat waja sampai kaputing usaha sampai akhir.

Kalimat pesan yang kita pegang sekarang adalah, bagaimana melaksanakan kewajiban untuk mengembalikan citra Unlam sebagai sebuah perguruan tinggi yang berkhazanahkan ilmu pengetahuan berwawasan global, dan selalu bercirikan pada etika moral dan kearifan budaya yang berakhlak mulia. Waallahu A’lam.

*)Penulis adalah Divisi Litbang BEM Unlam, tinggal di Banjarmasin

email : lazuardi_fisipol@yahoo.com

Kamis, 14 April 2005 01:53

Masa Depan Unlam, Problematika Dan Solusi

Oleh: Akhmad Lazuardi Saragih

Memanasnya suhu politik di Kalsel menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, jangan membuat kita ‘hanyut’ untuk terus mengikuti perkembangan pada hajat daerah tersebut. Tetapi ada juga hajatan yang lebih penting yang harus diketahui masyarakat.

Pada Juni 2005 ini, Prof Alfian Noor, rektor Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) saat ini, akan melepaskan jabatannya sebagai pemimpin Civitas Akedemika. Itu artinya, Prof Alfian Noor akan berhenti sebagai ‘raja’ di Unlam. Beliau juga tidak dapat mencalonkan kembali sebagai rektor Unlam, karena sudah dua kali menduduki jabatan rektor. Peraturan akedemik melarang beliau untuk kembali menduduki jabatan sebagai pimpinan universitas.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Prof Alfian Noor selaku Rektor Unlam, ada baiknya sebelum beliau mengakhiri masa jabatannya sebagai rektor menjawab pertanyaan berikut. Pertama, sudah benarkah Unlam sebagai universitas tertua dan terbesar di Kalimantan? Kedua, sudahkah rektor melaksanakan rencana strategis (renstra) Unlam dengan banar dan tepat? Ketiga, sebagai lembaga pendidikan perguruan tinggi (PT) yang berstatus negeri, kebijakan apa saja yang sudah dibuat oleh seorang pimpinan Civitas Akedemika dalam mencapai keberhasilan pendidikan PT di Unlam? Keempat, sampai sejauhmana tercapainya visi dan misi yang dibuat Prof Alfian Noor dalam memajukan dan mengembangkan Unlam selama kurun waktu kepemimpinannya (jika dilihat dari indikator keberhasilannya)? Kelima, bagaimana pertanggungjawaban rektor terhadap pengelolaan keuangan universitas. Sampai sejauhmana tranparasnsi rektor dalam menggunakan anggaran, kemana saja kucuran dana tersebut di alirkan, serta kejelasan dana yang digunakan?. Keenam, sejauhmana keberhasilan Unlam dalam membangun infrastruktur kampus. Bagaimana komitmen rektor terhadap kondisi perpustakaan, ruang belajar, serta fasilitas pendukung lainnya. Ketujuh, bagaimana transparansi dan akuntabilitas pimpinan universitas dalam hal perekrutan tenaga pengajar dan staf admintrasi di lingkungan Unlam? Kedelapan, bagaimana komitmen rektor dalam mendukung peningkatan organisasai dan lembaga serta unit kegiataan mahasiswa di lingkungan Unlam. Kesembilan, bagaimana komitmen pimpinan Civitas Akedemika Unlam untuk mengubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN)?

Semua pertanyaan itu wajib dijawab oleh Prof Alfian Noor, sebelum mengakhiri jabatannya sebagai rektor. Meskipun jawabannya tidak harus melalui tulisan di media, tetapi ada tempat pertanggungjawaban yang beliau lakukan yaitu melalui rapat senat yang diharapkan dapat terdengar masyarakat. Kalaupun mau, rektor juga dapat menyampaikan tanggapan atas pertanyaan tersebut melalui media sehingga masyarakat luas dapat mengetahuinya, sekaligus sebagai evaluasi kerja bagi rektor terpilih, sepeninggal Prof Alfian Noor.

Yang jelas siapa pun orangnya, dari manapun asalnya, rektor Unlam ke depan harus mempunyai visi dan misi yang jelas untuk membangun Unlam agar lebih maju, baik dari kualitas maupun kuantitas hasil pendidikan. Bagaimanapun, saya tidak dapat mengatakan kepemimpinan Prof Alfian Noor berhasil dalam membangun Unlam. Meskipun beliau selalu mengatakan, Unlam saat ini lebih maju dan berhasil dalam meningkatkan mutu pendidikan, baik dari kualitas maupun kuantitas.

Keberhasilan dan kemajuan suatu institusi PT tidak dapat diukur melalui kuantitas hasil pendidikan saja. Tetapi ukuran keberhasilan dalam mengelola PT akan tercapai bilamana PT tersebut menghasilkan calon intelektual yang mempunyai nilai jual di masyarakat, sehingga posisi tawar mereka akan menjadi salah satu perhitungan oleh pasar.

Langkah pimpinan Civitas Akedemika Unlam dalam menyelenggarakan program pascasarjana di hampir semua fakultas, bukan menjadi ukuran keberhasilan Unlam dari segi kualitas dan kuantitas pendidikan. Langkah penyelenggaraan program pascasarjana di Unlam terlihat sangat dipaksakan, akibat semakin menjamurnya universitas di Pulau Jawa yang membuka kelas jauh untuk program pascasarjana. Untuk menjawab tantangan itu, Unlam membuka program pascasarjana. Tetapi yang menjadi pertanyaan, sudah matangkah Unlam dalam menyelenggarakan program tersebut? Apakah dengan dibukanya program pascasarjana itu Unlam benar-benar dapat maju dan berkembang dari kualitas dan kuantitas hasil pendidikan, atau pembukaan program itu hanya untuk mencari proyek (mohon maaf jika saya salah memandangnya).

Terlepas dari hal itu, yang jelas saya berharap bila program pascasarjana di beberapa fakultas di lingkungan Unlam, diorientasikan pada kompetensi ilmu yang lebih menitikberatkan pada bidang tertentu sesuai potensi dan tantangan serta peluang yang ada di daerah, sehingga output yang dihasilkan dapat diolah dan dimaanfaatkan bagi kemajuan daerah.

Tidak kita pungkiri, dari kuantitas (meskipun kualitasnya perlu dilihat lagi) Unlam menghasilkan produk dari komponen akedemik. Saat ini saja, kalau kita berkaca pada data akademik, jumlah dosen (staf pengajar) yang ada sebanyak 850 orang, terdiri atas 10 fakultas. Berangkat dari hal itu, kalau satu dosen Unlam memiliki 10 penelitian yang dibuatnya, artinya kita memiliki 8.500 penelitian yang dibuat dosen-dosen kita.

Sementara itu, saat ini ada sekitar 25.000 alumni yang menghasilkan penelitian yang mereka buat dalam skripsi di akhir tugas belajar, belum lagi hasil penelitian yang dilakukan lembaga bentukan Unlam. Begitu banyaknya penelitian yang dihasilkan komponen Civitas Akedemika Unlam, patut kita acungi jempol. Sekiranya hasil penelitian itu dapat diaplikasikan bagi kemajuan daerah, tentu hal itu akan membawa dampak bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Hakikat PT

Peningkatan kemampuan untuk mengelola dan mengembangkan PT dirasakan sangat perlu, termasuk untuk menggunakan prinsip manajemen modern yang berorientasi pada mutu/kualitas. Bagi pemilik dan pengelola PT, sistem manajemen mutu hakikatnya berinti pada perbaikan terus menerus untuk memperkuat dan mengembangkan mutu tersebut. Krisis ekonomi dan moneter serta pasar bebas, menuntut kita untuk lebih cermat dan menentukan wawasan ke depan yang didasarkan atas pertimbangan potensi, kendala, peluang dan ancaman yang menuntut kita lebih efektif dan efisien dalam bertindak.

Kita ketahui, era globalisasi adalah era persaingan mutu. Maka PT di era globalisasi harus berbasis mutu. Mahasiswa yang menuntut ilmu di PT sesungguhnya mengharapkan hasil dari komunikasi dan motivasi ganda yaitu ilmu pengetahuan, gelar, keterampilan, pengalaman, keyakinan dan perilaku luhur. Semuanya itu diperlukan sebagai persiapan memasuki dunia kerja atau membuka lapangan kerja, dengan mengharapkan kehidupan yang baik dan kesejahteraan lahir.

PT menyelenggarakan tiga kegiatan utama yang dikenal sebagai Tri Darma PT, yaitu pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Penelitian merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori, konsep, metodologi, model, atau informasi baru yang memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan yang memaanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.

PT sebagai wadah untuk menggodok kader pemimpin bangsa, memerlukan suatu cara pengelolaan yang berbeda dengan instansinon pendidikan, karena dalam wadah ini berkumpul orang yang berilmu dan bernalar. Tanggung jawab pendidikan tidak saja beban pemerintah namun oleh seluruh lapisan masyarakat. Masalah penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana manajemen PT diatur dalam suatu administrasi yang rapi, efisien dan transparan.

Peraturan akademik dan administrasi mempunyai tatakerja membentuk suatu sistem yang harus ditaati dengan disiplin dan dedikasi semua pihak. Dengan sistem seperti ini, maka ada jaminan penuh bahwa perahu akan melaju ke arah yang sudah ditentukan, kalau pun nahkodanya berganti di tengah perjalanan. Prasarana dan sarana akedemik harus diciptakan sebagai landasan berpijak, di samping landasan mutu PT tersebut, terutama sangat ditentukan oleh peran tenaga pengajar yang berkualitas dan berbobot.

Solusi Permasalahan

Tugas pokok pimpinan Civitas Akedemika Unlam sekarang: Pertama, orientasi pendidikan PT harus mengacu pada rencana strategis pendidikan. Kedua, PT sebagai tempat menciptakan produk insan kampus, harus siap tampil di jajaran terdepan, jangan menjadi asing di negeri sendiri. Ketiga, prioritaskan program pendidikan PT secara matang sesuai tuntutan pasar. Keempat, percepat peningkatan sarana dan prasarana pendidikan khususnya yang berbasis peningkatan Teknologi Informasi. Kelima, siap melakukan perombakan struktur di Civitas Akedemika Unlam. Keenam, kembangkan kreativitas mahasiswa, dosen dan potensi kampus lainnya untuk tampil ke lini depan dalam meningkatkan keberhasilan otonomi pendidikan yang berbasis kompetensi serta pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh.

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengharapkan suksesi pemilihan rektor yang sebentar lagi dilaksanakan di Unlam berjalan demokratis dan transparan, sehingga ke depan Unlam benar-benar dapat menjadi universitas yang andal dari kualitas dan kuantitas, serta dapat bersaing di kancah nasional.

Bagi rektor terpilih, dapat menjalankan programnya secara profesional, tanggap terhadap segala hal, memiliki komitmen terhadap tercapainya visi dan misi yang dibuatnya, berorientasi kepada mutu, dapat membaca peluang dan tantangan Unlam, berjiwa kewirausahaan, serta tentunya harus siap menerima kritik dan saran dari seluruh komponen civitas akedemika.

Semoga pandangan ini menjadi titik tolak dari keberhasilan Unlam ke depan. Rasanya tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan, berjuang menderita tidak berjuang juga menderita, tetapi lebih mulia menderita dalam perjuangan.

Mahasiswa FISIP Unlam Banjarmasin

e-mail: lazuardi_fisipol@yahoo.com

1 comment:

Ithoy said...

Kalo aku kada salah..posting yang ini copy paste tulisankam di web B-post...

Pinanya karena langsung kam paste, jadi terpotong-potong. Dan olehnya panjang banar jadi cenderung bikin bosan.

Saranku, kam bikin ja intisari dan highlights tulisankam itu [sekitar 3 paragraf..ringkes, menarik!]
trus kam bikin link ke web b-post bagi yang ingin baca tulisan selengkapnya..

Satu lagi,
Kali lain kalo mau mempaste dari halaman web, paste ke notepad dulu baru hapusi bahasa2 program yang mungkin ada dalam tulisankam, baru paste ke halaman new-post.

Oks?

Biar tulisankan yang panjang kali lebar neto kada menuh-menuhin blog.

Kaitu Juk..